Jombang: Di Antara Berkah Tunggorono dan Gema Ramalan Jayabaya


 Maharaja Jayabaya, Kerajaan Kadiri 

(Berkuasa 1135–1159 M) 


Di jantung Jawa Timur, terhampar sebuah wilayah yang dikenal sebagai "Kota Santri". Namun, di balik citra religius modernnya, Kabupaten Jombang menyimpan denyut spiritual yang jauh lebih purba, sebuah lanskap di mana berkah para wali bertemu dengan gema ramalan kuno yang menakutkan. Di sinilah, di antara perbukitan sakral dan aliran sungai legendaris, kisah Jombang terungkap—sebuah cerita tentang harapan, sejarah, dan takdir yang telah tertulis.

Gunung Tunggorono: Oase Harapan di Perbukitan Keramat

Jauh dari hiruk pikuk kota, di Kecamatan Ngusikan, berdiri Gunung Tunggorono. Ini bukanlah gunung megah yang menjulang ke langit, melainkan sebuah kompleks perbukitan yang diselimuti kesakralan. Bagi ribuan peziarah yang datang silih berganti, Tunggorono adalah oase harapan. Pusat dari segala aktivitas spiritual di sini adalah makam Eyang Sentono, seorang tokoh yang diyakini sebagai wali penyebar agama dengan pendekatan tradisi Jawa.

Di sini, di tengah keheningan, para peziarah memanjatkan doa, mencari ketenangan, dan ngalap berkah (mencari keberkahan). Daya tarik utamanya adalah Sendang Made, sebuah sumber mata air dengan tujuh titik yang dipercaya memiliki khasiat berbeda—mulai dari penyembuhan hingga kelancaran rezeki. Ada pula Sendang Drajat, tempat para pencari kesuksesan membasuh diri, berharap derajat mereka terangkat.

Sejak era Majapahit, perbukitan ini diyakini telah menjadi mandala, sebuah pusat pertapaan bagi para ksatria dan resi. Eyang Sentono, yang hidup pada masa transisi runtuhnya Majapahit, seolah melanjutkan kesakralan tempat ini, mengubahnya dari pusat spiritual Hindu-Buddha menjadi pusat ziarah Kejawen-Islam. Gunung Tunggorono adalah simbol kontinuitas—sebuah tempat di mana doa-doa masa lalu dan harapan masa kini bertemu.

Bisikan dari Masa Lalu: "Jombang Dadi Blumbang"

Namun, di balik denyut spiritual yang penuh harapan ini, tersembunyi sebuah bisikan dari masa lalu yang menggetarkan. Sebuah ramalan yang diyakini berasal dari Prabu Jayabaya, Raja Kediri abad ke-12, yang berbunyi: "Jombang dadi blumbang."

Secara harfiah, artinya "Jombang akan menjadi kolam raksasa."

Ini bukan sekadar takhayul. Ramalan ini adalah sebuah kearifan lokal berbasis observasi geografis yang jenius. Prabu Jayabaya, yang kerajaannya berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, paham betul akan ancaman terbesar di wilayahnya: Gunung Kelud. Ia tahu bahwa letusan dahsyat gunung itu akan memuntahkan jutaan ton material vulkanik ke Sungai Brantas, menyebabkan pendangkalan ekstrem. Saat musim hujan tiba, sungai yang dangkal tak akan mampu menampung air, menciptakan banjir lahar dingin raksasa yang akan menenggelamkan dataran rendah di hilir. Dan Jombang, dengan posisinya yang merupakan cekungan alami, adalah kandidat utama untuk menjadi "blumbang" tersebut.

Setiap kali banjir besar melanda Jombang, gema ramalan Jayabaya kembali terdengar, mengingatkan penduduknya bahwa mereka hidup di atas tanah yang telah "ditakdirkan" rentan terhadap murka alam.

Menunggu Tanda Zaman: Kapan Puncak Kalabendu Tiba?

Pertanyaan yang selalu menggantung adalah, "Kapan ramalan itu akan terwujud?"

Jangka Jayabaya tidak memberikan tanggal pasti. Waktunya ditandai oleh serangkaian tanda-tanda zaman. Bencana fisik itu diramalkan akan terjadi pada puncak Zaman Kalabendu, sebuah era kekacauan total yang diuraikan dengan sangat gamblang oleh pujangga besar Ranggawarsita dalam "Serat Kalatida".

Puncak Kalabendu tiba ketika masyarakat telah mencapai titik terendah secara moral. Ketika para pemimpin tak lagi amanah, hukum bisa dibeli, fitnah menjadi sarapan pagi, dan rasa malu telah hilang dari peradaban. Ranggawarsita menggambarkannya sebagai "Zaman Edan", di mana orang jujur dihadapkan pada dilema eksistensial: ikut gila atau tersingkir dan kelaparan.

Apakah kita sudah berada di puncaknya? Banyak yang melihat tanda-tandanya dalam realitas hari ini. Namun, ramalan ini juga menawarkan jalan keluar.

Jalan Keluar: "Eling lan Waspada"

Di tengah ramalan yang suram, terselip sebuah kunci keselamatan. Ranggawarsita menulis, "Begja-begjaning kang lali, isih begja kang éling lan waspada." (Seberuntung-beruntungnya orang yang lupa diri, masih lebih beruntung mereka yang selalu ingat dan waspada).

Eling: Ingat kepada Tuhan, kepada nilai-nilai luhur, dan kepada jati diri kemanusiaan.

Waspada: Waspada terhadap godaan zaman, menjaga diri dari perbuatan tercela, dan peka terhadap tanda-tanda alam.

Pada akhirnya, Jombang adalah mikrokosmos dari perjalanan peradaban itu sendiri. Di satu sisi, ia menawarkan harapan spiritual melalui kesucian Gunung Tunggorono. Di sisi lain, ia hidup di bawah bayang-bayang ramalan kuno yang mengancam. Selesai. 

Kisah Jombang mengajarkan kita bahwa ramalan mungkin bukanlah sebuah takdir yang tak terelakkan, melainkan sebuah peringatan abadi. Sebuah cermin besar yang memaksa kita untuk bertanya: apakah kita akan membiarkan diri kita tenggelam dalam "blumbang" kekacauan, atau kita akan memilih jalan "eling lan waspada" untuk meraih keselamatan? Jawabannya, mungkin, tidak tertulis di langit, tetapi di dalam hati dan tindakan kita sendiri.

Komentar

Postingan Populer