Pertemuan Dua Dunia: Kisah Sunan Jati dan Puteri Sun #1
Bab 1
Perjalanan ke Negeri yang Jauh
(Penulis: Ahmada45)
Angin laut bertiup kencang di pelabuhan Kasultanan pagi itu. Kapal besar yang dihias ukiran naga dan burung garuda bersiap mengarungi samudra. Di tepi dermaga, Sunan Jati berdiri tegap mengenakan jubah putih panjang, sorban melingkar rapi di kepalanya. Wajahnya memancarkan keteduhan, meski matanya menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan. Di sekelilingnya, para pengikutnya sibuk memuat perbekalan ke kapal.
“Ini adalah perjalanan panjang, Kanjeng Sunan,” ujar Ki Gede Wirya, salah satu muridnya yang paling setia. “Samudra luas ini penuh dengan badai dan tantangan. Apakah kita benar-benar harus melakukannya?”
Sunan tersenyum, menepuk bahu Ki Gede dengan lembut. “Ki Gede, setiap perjalanan yang besar membutuhkan pengorbanan. Jika kita ingin menyampaikan pesan kedamaian, kita harus bersedia menyeberangi lautan. Bukankah Rasulullah juga mengajarkan untuk menyebarkan kebaikan ke seluruh penjuru bumi?”
Ki Gede mengangguk, meski wajahnya tetap tampak cemas. Mereka berangkat bukan hanya membawa ajaran Islam, tetapi juga harapan untuk menjalin hubungan persahabatan antara Nusantara dan Kekaisaran Tiongkok. Sunan tahu, tugas ini bukan sekadar diplomasi, tetapi juga misi spiritual yang melibatkan seluruh jiwa dan raga.
Hari Pertama di Laut
Ketika layar kapal dibuka, angin segera membawa mereka menjauh dari pantai utara Pulau Jawadwipa. Perlahan, daratan menghilang dari pandangan. Laut membentang luas, biru dan tanpa batas. Para awak kapal sibuk dengan tugas masing-masing, sementara Sunan Jati duduk di dek, memandangi horizon.
“Apakah engkau khawatir, Kanjeng Sunan?” tanya Ki Gede yang mendekatinya.
“Tidak, Ki Gede,” jawab Sunan Jati dengan tenang. “Namun aku merenungkan apa yang akan kita hadapi di sana. Kekaisaran Tiongkok adalah negeri yang besar, dengan peradaban yang maju. Kita harus membawa diri dengan rendah hati, tetapi tetap menunjukkan kebesaran ajaran Islam.”
Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba angin laut berubah menjadi lebih kencang. Ombak mulai mengguncang kapal. Para awak berteriak memberi aba-aba untuk memperkuat tali layar. Beberapa pengikut Sunan yang belum terbiasa dengan laut mulai pucat dan muntah di sudut kapal.
“Badai ini merupakan ujian awal,” gumam Sunan sambil mencengkeram erat sisi kapal. Dalam hatinya, ia berdoa agar perjalanan mereka dilindungi Tuhan.
Pertemuan dengan Bajak Laut
Di hari kelima perjalanan, ketika mereka memasuki perairan yang lebih dalam, sebuah kapal asing muncul di kejauhan. Kapal itu berlayar mendekat dengan kecepatan tinggi, bendera hitam berkibar di puncak tiangnya.
“Bajak laut!” seru salah satu awak kapal, membuat semua orang panik.
“Tenang!” perintah Sunan dengan suara yang tetap tenang namun tegas. “Tidak ada yang bergerak tanpa perintah.”
Kapal bajak laut itu segera mendekat, dan beberapa pria bersenjata lompat ke atas kapal mereka. Pemimpin bajak laut, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di wajahnya, melangkah maju dengan angkuh.
“Kami butuh perbekalan dan barang berharga!” teriaknya.
Sunan Jati melangkah maju tanpa rasa takut. “Saudara, mengapa engkau memilih jalan ini? Apakah engkau tidak khawatir tentang balasan di akhirat?”
Pria itu tertawa keras. “Apa peduliku dengan akhirat? Aku hanya butuh makan dan emas.”
Sunan mendekatinya perlahan. “Jika engkau membutuhkan makanan, kami bersedia berbagi. Tapi jika engkau mengambilnya dengan paksa, kau hanya akan menambah dosa di pundakmu.”
Kata-kata Sunan membuat pria itu terdiam. Sorot matanya yang kasar mulai melunak. “Kau berbicara seperti seorang bijak,” katanya akhirnya. “Aku akan menerima makananmu, tapi tidak akan menyentuh emasmu.”
Sunan mengangguk. Mereka memberikan sebagian perbekalan kepada bajak laut itu, yang kemudian pergi tanpa melukai siapa pun. Kejadian itu menjadi pelajaran bagi semua orang di kapal tentang kekuatan kata-kata dan kebijaksanaan.
Sampai di Negeri Tiongkok
Setelah berminggu-minggu di laut, mereka akhirnya melihat daratan Tiongkok. Gunung-gunung hijau menjulang di kejauhan, sementara kapal-kapal nelayan kecil hilir-mudik di dekat pelabuhan. Mereka disambut oleh pejabat kekaisaran yang telah menerima surat dari Nusantara sebelumnya.
“Selamat datang di negara kami,” kata salah satu pejabat yang fasih berbahasa Melayu. “Kaisar kami telah mendengar kebijaksanaan Anda, dan dia sangat tertarik untuk bertemu.”
Sunan tersenyum dan membungkuk hormat. “Terima kasih atas sambutan hangat ini. Kami datang membawa pesan kedamaian dari Nusantara.”
Di sepanjang jalan menuju istana, Sunan dan rombongannya disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Jalanan lebar dihiasi dengan pohon-pohon sakura yang sedang berbunga, dan istana megah dengan atap berwarna emas terlihat menjulang di ujung jalan. Sunan merasakan kekaguman sekaligus kerendahan hati di hadapan kebesaran peradaban ini.
Ketika mereka tiba di istana, mereka dipersilakan masuk ke aula besar yang penuh dengan lampion berwarna merah dan emas. Kaisar Hong, yang mengenakan jubah naga, duduk di singgasana tinggi dengan senyum ramah. Di sisinya, seorang wanita cantik dengan pakaian kebesaran kekaisaran berdiri dengan anggun.
“Kami telah mendengar banyak tentang kebijaksanaanmu, Sunan dari Jawa,” ujar Kaisar Hong. “Kami ingin mendengar langsung apa yang membuat ajaranmu begitu istimewa.”
Sunan tersenyum dan membungkuk hormat. “Yang Mulia, ajaran ini sederhana. Islam mengajarkan kedamaian, kasih sayang, dan keadilan. Kami datang untuk membawa persahabatan, bukan konflik.”
Kaisar mengangguk dengan wajah serius. “Kami ingin belajar lebih banyak. Tetapi, kami juga ingin memastikan bahwa kunjunganmu membawa manfaat bagi rakyat kami.”
Dialog antara Sunan Jati dan Kaisar Hong menjadi awal dari hubungan yang panjang dan bermakna antara Nusantara dan Kekaisaran Tiongkok.
Penutup Bagian 1
Perjalanan Sunan Jati ke negeri Tiongkok bukan hanya sebuah perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang penuh dengan pelajaran. Setiap tantangan yang mereka hadapi di laut, setiap pertemuan dengan orang asing, dan setiap langkah di tanah Tiongkok adalah bukti kebesaran hati dan keteguhan iman.
Di tengah perbedaan budaya dan bahasa, Sunan Jati membuktikan bahwa pesan kedamaian dapat melampaui segala batas. Dan di negeri yang jauh ini, ia mulai menanam benih-benih harmoni yang akan dikenang sepanjang masa.
Komentar
Posting Komentar