Tafsir Ulang Pararaton sebagai Sastra Piwulang: Alegori Kekuasaan dan Karma dalam Kisah Ken Arok



Abstrak

Kajian ini menafsirkan ulang kisah Ken Arok dalam Kitab Pararaton, beranjak dari pendekatan historis-faktual menuju pembacaan sebagai Sastra Piwulang (sastra ajaran moral), sejalan dengan kritik sejarah yang dikemukakan oleh para ahli seperti Dr. Agus Sunyoto. Analisis ini mendekonstruksi narasi harfiah dengan memaknai ulang tokoh dan peristiwa kunci sebagai simbol dan alegori. Tokoh Ken Arok tidak dilihat sebagai figur historis, melainkan sebagai perlambang pemberontakan rakyat terhadap tirani. Demikian pula, "cahaya" pada Ken Dedes ditafsirkan bukan sebagai fenomena supranatural, melainkan sebagai simbol legitimasi politik dan restu ilahi yang harus direbut.

Pusat alegori terletak pada Keris Mpu Gandring, yang melambangkan jalan pintas berdarah menuju kekuasaan. Pembuatannya yang dipaksakan merupakan metafora penolakan terhadap proses yang sah dan sabar. Akibatnya, kutukan Mpu Gandring dimaknai bukan sebagai sihir, melainkan sebagai perwujudan hukum karma politik: kekuasaan yang direbut melalui kekerasan akan melahirkan siklus kekerasan baru. Keberhasilan Arok mendirikan takhta di atas fitnah (kasus Kebo Ijo) dan darah (pembunuhan Tunggul Ametung) menciptakan fondasi dinasti yang rapuh dan terkutuk.

Kesimpulannya, kisah Ken Arok dalam Pararaton, melalui tafsir ini, bukanlah sebuah biografi faktual, melainkan sebuah wejangan moral yang mendalam. Kisah ini menjadi peringatan bahwa kekuasaan yang diperoleh dengan cara yang tidak etis dan penuh kekerasan pada hakikatnya sedang membangun jalan menuju kehancurannya sendiri, mengilustrasikan hukum sebab-akibat yang tak terelakkan dalam ranah politik dan spiritual.

___

Berikut adalah revisi atau tafsir ulang kisah Ken Arok dari Pararaton, yang ditulis sepenuhnya melalui kacamata kritik sejarah Dr. Agus Sunyoto. Ini bukan lagi sebuah catatan sejarah, melainkan sebuah Sastra Piwulang (Sastra Ajaran Moral) yang sarat dengan simbol dan alegori.


            Dengarlah, anak cucu sekalian, sebuah kisah yang terukir di daun lontar, namun jangan ditelan mentah-mentah sebagai catatan peristiwa. Anggaplah ini sebuah piwulang, sebuah ajaran yang dibungkus dalam cerita. Inilah hikayat tentang Ken Arok, bukan sebagai manusia biasa, melainkan sebagai sebuah perlambang tentang ambisi, kekuasaan, dan hukum karma yang tak pernah bisa ditawar.

Bab 1: Siapakah Sang Arok? Sebuah Perlambang Pemberontakan

Dikisahkan Arok adalah putra Dewa Brahma yang lahir dari rahim wanita desa. Jangan kau bayangkan dewa turun dari kahyangan. "Putra Dewa" adalah sebuah ibarat bagi manusia yang lahir dengan bakat luar biasa, dengan api ambisi yang tak bisa dipadamkan oleh takdirnya sebagai wong cilik (rakyat jelata). Ia adalah sebuah anomali.

Pararaton menyebutnya perampok dan biang onar. Mari kita baca dengan mata yang lain. Mungkinkah "perampok" itu adalah sebutan dari penguasa tiran, Tunggul Ametung, untuk seorang pemuda yang memimpin perlawanan rakyat? Mungkinkah gerombolannya bukanlah bandit biasa, melainkan laskar rakyat jelata yang muak dengan pajak yang mencekik dan kesewenang-wenangan istana? Arok bukanlah penjahat, melainkan percikan api pemberontakan pertama di tanah Tumapel yang gersang oleh ketidakadilan.

Bab 2: Ken Dedes dan Cahaya yang Bukan Fisik

Lalu tersebutlah Ken Dedes, putri pendeta yang diculik Tunggul Ametung. Kecantikannya adalah legenda. Namun, kisah betisnya yang bersinar saat kainnya tersingkap bukanlah tentang syahwat atau keajaiban fisik.

"Cahaya" itu adalah perlambang legitimasi. Ken Dedes adalah representasi dari tanah Tumapel itu sendiri: subur, bijaksana, dan memiliki restu ilahi. Siapa pun yang mendapatkannya, berarti mendapat restu rakyat dan para dewa. Arok, dengan kecerdasan politiknya, melihat "cahaya" ini. Ia tahu, untuk menggulingkan tirani, ia tidak hanya butuh kekuatan, tetapi juga seorang ratu yang dicintai rakyat dan memiliki darah biru spiritual. Merebut Dedes bukanlah merebut wanita, melainkan merebut hati dan restu dari tanah Jawa itu sendiri.

Bab 3: Keris Mpu Gandring, Alegori Jalan Pintas Berdarah

Inilah inti dari piwulang ini. Arok, yang tergesa-gesa oleh api ambisinya, datang kepada Mpu Gandring, sang penjaga kawruh (pengetahuan luhur dan tradisi). Ia tidak memesan senjata, ia memesan jalan pintas menuju kekuasaan.

Mpu Gandring berkata, "Kekuasaan yang sejati butuh ditempa dengan kesabaran, seperti keris ini." Namun Arok menolak. Ia merebut keris yang belum selesai itu—sebuah lambang dari kekuasaan yang direbut dengan cara paksa, tanpa restu waktu dan proses yang benar.

Tindakannya menusuk Mpu Gandring adalah sebuah alegori. Arok telah "membunuh" kebijaksanaan, kesabaran, dan jalan yang benar. Maka, lahirlah kutukan itu. Kutukan Mpu Gandring bukanlah sihir, melainkan sebuah hukum alam politik dan spiritual:

"Kekuasaan yang kau rebut dengan darah, akan menuntut darah sebagai bayarannya. Siklus ini akan terus berputar, memakan tujuh turunanmu."

Tujuh bukanlah angka harfiah, melainkan simbol untuk "banyak" atau "generasi yang panjang". Kutukan itu adalah pernyataan bahwa kekerasan akan melahirkan kekerasan yang baru.

Bab 4: Takhta yang Dibangun di Atas Dusta

Siasat Arok menggunakan Kebo Ijo sebagai kambing hitam bukanlah sekadar cerita intrik. Ini adalah gambaran bagaimana seseorang yang awalnya mungkin memiliki niat baik (membebaskan rakyat), harus mengotori tangannya dengan fitnah dan dusta untuk mencapai tujuannya.

Ia berhasil membunuh Tunggul Ametung. Ia berhasil merebut takhta. Rakyat bersorak untuk pahlawan baru mereka. Namun Arok tahu, takhtanya tidak berdiri di atas keadilan, melainkan di atas mayat Tunggul Ametung dan fitnah terhadap Kebo Ijo. Fondasinya rapuh dan berbau anyir darah.

Epilog: Gema Kutukan sebagai Hukum Karma

Arok menjadi raja besar, pendiri dinasti Rajasa. Namun, keris itu—lambang jalan pintas berdarah—tidak pernah benar-benar pergi. Ia disimpan oleh takdir.

Ketika pengikut setia Anusapati, putra Tunggul Ametung, yang terdorong rasa kesetiaannya kepada Anusapati dan salah memafsirkan keinginan Anusapati, membunuh Sang Rangga Rajasa tanpa restu Anusapati  dengan keris yang sama,  itu adalah hukum karma yang datang menagih utangnya. Siklus yang dimulai Arok telah kembali kepadanya. Kekerasan yang ia tanam, kini ia tuai buahnya. Dan seperti yang dikatakan sang empu, siklus itu tidak berhenti di sana. Ia terus berputar, dari Anusapati ke Tohjaya, dan seterusnya, menjadi riak-riak darah yang mewarnai sejarah Singasari.


Maka, janganlah membaca kisah ini sebagai biografi seorang raja. Bacalah sebagai cermin. Bahwa setiap jalan pintas menuju kekuasaan yang ditempuh melalui tipu daya dan pertumpahan darah, sesungguhnya sedang membangun jalan menuju kehancurannya sendiri. Itulah piwulang abadi dari Pararaton.

****

Baca juga novel nya:

https://fiksi-in.blogspot.com/2025/07/novel-genta-parahyangan-senandung-darah.html?m=1#more

Komentar

Postingan Populer