Gaji Jadi Soal, Pemda 'Dingin' Tanggapi PPPK Paruh Waktu, Kemendagri Siapkan 'Jurus' Penyelamat
Ilustrasi, Bai lu dalam Drama Mandarin Arsenal Military Academy 2019
Indonesia – Sebuah ide brilian dari pemerintah pusat untuk meredam bom waktu sosial bernama tenaga honorer kini seolah membentur dinding tebal realitas fiskal di daerah. Skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu, yang digadang-gadang sebagai solusi elegan dan manusiawi, justru disambut dengan sikap "dingin" oleh mayoritas pemerintah daerah (pemda). Di tengah panggung birokrasi yang penuh keraguan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kini menyiapkan sebuah 'jurus' baru yang diharapkan mampu mencairkan kebekuan dan menyelamatkan nasib jutaan abdi negara.
Bantu klik iklan, sis😁🇮🇩🙏:
Kisah ini bermula dari amanat sakral Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, yang menetapkan Desember 2024 sebagai akhir dari era honorer. Untuk mencegah gelombang PHK massal yang bisa memicu krisis, lahirlah konsep PPPK Paruh Waktu. Ini adalah jaring pengaman bagi mereka yang telah bertahun-tahun mengabdi namun tak lolos seleksi PPPK Penuh Waktu. Sebuah konsep yang di atas kertas terdengar sempurna: status mereka diakui, mereka tetap bekerja, dan negara menunjukkan kepeduliannya.
Namun, di lapangan, orkestrasi kebijakan ini terdengar sumbang. Alasan utamanya sederhana namun pelik: uang. Para gubernur, bupati, dan wali kota dihadapkan pada dilema buah simalakama. Mereka khawatir Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sudah sesak tidak akan mampu menanggung beban gaji tambahan, sekalipun untuk pegawai paruh waktu.
Bantu klik iklan sis😁🇮🇩🙏
Dilema Anggaran di Balik Sikap 'Dingin' Pemda
Sikap dingin pemda bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan cerminan dari kalkulasi matematis yang suram. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Agus Fatoni, mengakui bahwa kekhawatiran ini sangat beralasan. "Hambatan utamanya adalah kekhawatiran pemda terkait kemampuan fiskal untuk membayar gajinya. Karena itu, usulan yang masuk masih sangat minim," ungkapnya.
Kekhawatiran tersebut berakar pada struktur APBD yang kaku. Sebagian besar anggaran sudah terkunci untuk belanja wajib (mandatory spending), seperti alokasi 20% untuk pendidikan dan 10% untuk kesehatan. Ditambah lagi, banyak daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terbatas sangat bergantung pada dana transfer dari pusat, yang penggunaannya seringkali tidak fleksibel. Menambah pos belanja pegawai baru terasa seperti memaksakan beban tambahan pada punggung yang sudah rapuh.
Akibatnya, pemda memilih bersikap hati-hati, bahkan cenderung pasif. Mereka menanti kepastian lebih lanjut dari pusat, berharap ada insentif fiskal atau formula ajaib yang bisa meringankan beban mereka. Sementara waktu terus berjalan, nasib lebih dari 2,3 juta honorer yang tercatat di BKN menggantung di ujung tanduk.
'Jurus' Surat Edaran: Intervensi Pusat untuk Cairkan Kebekuan
Menghadapi kenyataan pahit ini, pemerintah pusat menolak untuk menyerah. Kemendagri, sebagai konduktor pemerintahan daerah, berkolaborasi dengan Kementerian PAN-RB untuk meracik sebuah 'jurus' intervensi: Surat Edaran (SE). Ini bukan sekadar surat biasa, melainkan sebuah instrumen kebijakan yang dirancang untuk memberikan guncangan psikologis dan arahan teknis.
"Kami sedang siapkan SE untuk semua kepala daerah. Isinya adalah penegasan dan dorongan agar mereka mau menganggarkan untuk PPPK Paruh Waktu. Ini adalah agenda prioritas nasional," tegas Agus Fatoni.
Surat Edaran ini memiliki misi ganda. Secara politis, ia berfungsi sebagai pengingat tegas bahwa penataan non-ASN adalah agenda negara yang tidak bisa ditawar. Secara teknis, ia diharapkan mampu memberikan panduan bagi pemda untuk melakukan efisiensi dan realokasi anggaran. Ini adalah upaya pusat untuk 'membujuk' sekaligus 'mengarahkan' daerah agar mau menjalankan simfoni kebijakan yang sama.
Surat ini menjadi pertaruhan besar. Ia adalah upaya untuk meyakinkan para kepala daerah bahwa mengakomodasi PPPK Paruh Waktu bukanlah sekadar menambah beban, melainkan sebuah investasi sosial untuk stabilitas daerah mereka sendiri.
Pertaruhan Nasib Jutaan Honorer
Pada akhirnya, isu ini jauh melampaui angka-angka dalam dokumen anggaran. Ini adalah tentang manusia. Tentang para guru, tenaga kesehatan, dan staf administrasi yang telah mengabdikan hidupnya dengan upah minim dan status yang tak pasti. Mereka adalah tulang punggung pelayanan publik di banyak daerah terpencil.
Kegagalan skema PPPK Paruh Waktu akan menjadi tragedi kemanusiaan dan kegagalan sistemik. Jika Surat Edaran dari Kemendagri tidak mampu mencairkan sikap dingin pemda, maka skenario terburuk—PHK massal pada akhir 2024—akan menjadi kenyataan. Ini bukan hanya akan menciptakan jutaan pengangguran baru, tetapi juga berpotensi melumpuhkan pelayanan publik di berbagai sektor.
Kini, semua mata tertuju pada efektivitas 'jurus' yang disiapkan Kemendagri. Apakah ia akan menjadi kunci pembuka yang menyelamatkan nasib jutaan honorer, atau hanya akan menjadi selembar kertas lain dalam tumpukan birokrasi yang kompleks? Jawabannya akan menentukan wajah kepegawaian Indonesia di masa depan.
***
Tag: ASN, PPPK, Kemendagri, pemda, honorer, 2025,Indonesia
/
Komentar
Posting Komentar